BUDAYA BERNEGARA

Selama ini kita telah terbiasa untuk mengatakan bahwa organisasi yang dibangun untuk mengurus suatu negara namanya adalah : Pemerintahan. Dan pihak yang bertugas melaksanakan tugas organisasi tersebut kita sebut dengan Pemerintah. Orang-orang yang ada dalam lingkup organisasi tersebut kita namakan Orang Pemerintahan. Di negara kita struktur ini terbentang dari yang disebut Pemerintah Pusat hingga yang diwilayah provinsi disebut Pemerintah Daerah. Penggunaan kata Pemerintah atau Pemerintahan telah berlangsung sejak
lama bahkan mungkin sejak jaman kolonial. Mungkin ini didasari oleh sifat organisasi kolonial itu sendiri yang memang ditugaskan oleh negaranya untuk menyampaikan perintah-perintah yang diberikan oleh pemimpin kolonial pada waktu itu yaitu : Kerajaan Belanda. Sehingga menjadi klop jika sebutan bagi pihak yang menyampaikan perintah atau pemberi perintah itu adalah:Pemerintah. Sampai disini memang tidak ada yang aneh dan keliru jika kata Pemerintah itu dilekatkan pada organisasi kolonial yang memang pada waktu itu memegang kuasa perintah terhadap rakyat Indonesia. Entah siapa yang memberi kuasa itu kita tidak pernah tahu. Kok Belanda yang asalnya datang sebagai pedagang ( VOC ) tiba-tiba menjelma jadi pemerintah.

Jika kita gunakan kata pemerintah itu untuk menyebut organisasi kenegaraan kita saya merasa ada yang kurang pas bahkan keliru. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa Negara bertanggung jawab untuk mengurus dan mensejahterakan rakyatnya. Artinya organisasi negara tugasnya adalah mengurus segala hal yang diperlukan demi tercapainya amanah UUD 45 yaitu masyarakat yang adil dan makmur. Disini UUD 45 tidak menyiratkan kata untuk memerintah rakyat Indonesia agar menjadi adil dan makmur. Dan memang kata Perintah tidak akan dapat mewujudkan suatu keinginan atau tujuan. Keinginan atau tujuan yang menjadi sasaran organisasi hanya dapat dicapai jika organisasi tersebut diatur dan diurus. Dengan kata lain harus ditata atau dimenej. Nah sekarang kita sudah membentuk organisasi negara kita dari Pusat hingga ke Daerah yang bentuk dan ujudnya berbeda sama sekali dengan Pemerintah kolonial dulu (Kompeni). Kalau dulu Kompeni menyebut dirinya Pemerintah Hindia Belanda adalah hal yang wajar karena tugasnya memang hanya memerintah dan bukan mengurus negara karena Indonesia bukanlah negara miliknya. Namun sekarang rakyat Indonesia sudah boleh mengurus negaranya sendiri , oleh sebab itu kita tidak lagi boleh mewarisi model Pemerintahan Hindia Belanda yang hanya memberi perintah , tetapi harus mulai mengurusnya. Mengatur atau memenej negara dan bangsa ini agar tujuan yang diamanahkan oleh UUD 45 dapat tercapai. Oleh sebab itu ada baiknya kita kaji penggunaan kata Pemerintah ini apakah tepat untuk kehidupan kita dalam bernegara.

Sepintas memang tidak ada yang salah dan menjadi masalah jika kita pakai kata pemerintah sebagai sebutan organisasi pengelola negara. Tapi harus diingat bahwa filosofi yang dibawa oleh kata pemerintah tersebut tidak tepat untuk diterapkan oleh kita dalam hidup bernegara. Diatas sudah disinggung bahwa saat ini kita sudah merdeka dan karenanya boleh mengurus negaranya sendiri. Tidak perlu lagi manut pada perintah bangsa lain. Dan UUD 45 pun menyiratkan bahwa negara harus diurus agar tujuan yang diamanahkan dapat tercapai. Kalau kita kaji arti kata memerintah dan mengurus ada perbedaan yang sangat signifikan. Pengertian memerintah adalah menyuruh melakukan sesuatu yang manfaatnya hanya diperuntukkan bagi pihak yang mengeluarkan perintah. Ini jauh berbeda dengan makna kata Mengurus. Mengurus mengandung makna tanggung jawab oleh pihak yang melakukannya dimana manfaatnya tidak hanya untuk pihak yang melakukannya saja tapi juga untuk pihak lain yaitu pihak yang diurus. Disini ada nilai lebih yang layak diberikan kepada yang mengurus dibanding kepada yang memerintah. Karena mengurus mengandung makna tanggung jawab, sedang memerintah tidak menuntut tanggung jawab. Padahal kita tahu bahwa amanah UUD 45 jelas-jelas menyiratkan adanya sebuah tanggung jawab dalam mengelola negara. Artinya dalam usaha mewujudkan amanah UUD 45 tidak dapat dilakukan dengan cara memerintah karena tidak mengandung unsur tanggung jawab , tetapi harus dengan cara mengurus. Sampai disini kita mulai merasakan ada yang keliru dengan konsep pemerintahan. Benar demikian ? mari kita lanjutkan telaah kita.

Kita ketahui bahwa dalam hidup setiap tindakan yang kita ambil selalu dipengaruhi oleh pola pikir. Dan pola pikir sangat dipengaruhi oleh filosofi atau nilai-nilai hidup yang dianut. Bagaimana seseorang bertindak maka seperti itulah filosofi yang dianutnya. Nah , diatas telah disinggung bahwa ada filosofi yang berbeda antara memerintah dan mengurus. Memerintah mengandung filosofi , bahwa : akulah yang kuat, maka yang aku katakan haruslah diikuti dan jangan menuntut apapun karena akulah yang berkuasa. Sementara Mengurus mengandung filosofi , bahwa : inilah rencana terbaik untuk kita karenanya mari kita jalankan dan saya berani bertanggung jawab akan hasilnya.

Saya melihat ada korelasi antara penggunaan kata Pemerintah dengan hasil-hasil yang selama ini kita capai. Selama ini kita lihat bagaimana pejabat pemerintah baik pusat maupun daerah seringkali bersikap congkak dan arogan terhadap rakyatnya sendiri. Bagi mereka seakan rakyat ini adalah jajahannya yang harus menuruti apapun yang mereka perintahkan dan menentang pemerintah ancamannya adalah mati atau penjara seumur hidup karena dituduh subversi atau makar. Mungkin ada yang berpendapat , itu kan dulu lawan politik diberangus dan dipenjara. Semua-semua diatur oleh pemerintah rakyat harus nurut. Sekarang kan tidak. Saya masih melihat hal yang sama walaupun bentuknya sedikit berbeda. Salah satu contohnya adalah mempertahankan Satpol PP dengan alasan untuk menertibkan rakyat. Menerjunkan petugas khusus untuk turun kejalan raya guna memungut retribusi. Menetapkan kebijakan-kebijakan tertentu yang memberatkan rakyat yang walaupun melalui persetujuan wakil rakyat, tapi persetujuan itu diberikan setelah melalui proses suap dalam sandiwara rapat komisi. Intinya filosofi memerintah masih sangat kuat dan karenanya tidak akan pernah berorientasi untuk kepentingan rakyat karena tidak bertanggunga jawab untuk mengurus melainkan hanya memerintah. Hal ini juga tercermin dari tingkat tanggung jawab yang tidak jelas jika terjadi hal-hal yang merugikan rakyat. Itu sebabnya di negara kita tidak pernah dikenal istilah mengundurkan diri. Karena bagi mereka pemerintah adalah penguasa dan karenanya harus pantang mundur. Nah dari budaya bernegara seperti itu maka hasil yang kita dapatkan adalah : Petani, Nelayan, peternak miskin yang akan tetap miskin. Musim panen untungnya kecil karena dikerjain tengkulak, musim tanam jadi buntung karena harga kebutuhan dikerek naik. Rakyatnya tetap miskin karena income per kapitanya malah melorot sementara utang negara membengkak bak kena bakteri. Siapa yang bertanggung jawab ? tidak ada. Karena yang memerintah kan tugasnya hanya memerintah, bukan mengatur. Itu sebabnya pemimpin yang sudah gagal menyejahterakan rakyatnya, atau yang sudah terbukti melakukan kesalahan ataupun skandal tetap aja bisa jadi pemimpin lagi. Kenapa ? karena mereka pemerintah.

Lantas bagaimana dengan konsep Mengatur Negara ? Apa bedanya dengan konsep Pemerintahan ? Perbedaan yang diharapkan terjadi dan harus terjadi adalah pada pola pikir dan sikap mental penyelenggara negara. Setiap siapa saja yang hendak menjadi pemimpin di negeri ini mulai dari jajaran yang paling tinggi ( presiden ) sampai yang paling rendah (Camat dan Lurah) harus sadar penuh bahwa mereka bukanlah penguasa tetapi petugas Tata Negara yang bertugas menjalankan Tata Kelola ( management )negara sesuai lingkup tugasnya. Mereka memiliki job discription yang rinci dan jelas lengkap dengan tanggung jawabnya bak seorang manager di sebuah perusahaan. Tata Negara ? Ya. Kita perlu menggunakan kata ini untuk urusan mengurus negara karena dengan penggunaan kata ini setiap petugas dan pejabat di lingkup Ketatanegaraan sadar bahwa dirinya tidak memegang kuasa perintah dan karenanya tidak boleh memelihara mental memerintah tetapi mental melayani. Yang harus dilakukan adalah memikirkan , merencanakan , melaksanakan program-program yang menjadi tanggung jawabnya dengan sebaik-baiknya untuk kepentingan rakyat dan melakukan pengawasan dan kontrol agar pelaksanaan berjalan sesuai rencana. Jadi yang membuat, mempersiapkan dan melaksanakan adalah Tata Negara sekaligus bertanggung jawab penuh atas hasilnya. Sudah tidak boleh lagi menyuruh rakyat yang melaksanakan dan kalau gagal rakyat yang disalahkan. Dengan konsep bernegara ini, maka setiap pelaksanaan tugas yang dulu sering menggunakan kata perintah atau instruksi berubah menjadi pelaksanaan tugas dan tanggung jawab. Setiap petugas Tata Negara melaksanakan tugasnya tidak lagi berdasarkan instruksi atau perintah pemimpin tetapi karena memang sudah menjadi Diskripsi pekerjaan yang memang sudah tugasnya. Dengan budaya kerja yang seperti ini dapat diharapkan setiap Petugas Negara ( pegawai negeri sekarang) menyadari sepenuhnya bahwa tugas pelayanan terhadap masyarakat adalah diskripsi pekerjaan sehingga tidak ada alasan untuk meminta imbalan atau tambahan apapun. Dengan konsep bernegara ini diharapkan mental korup dapat ditekan sampai ketingkat yang paling rendah. Dan dengan konsep bernegara seperti ini tidak ada lagi seorang presiden yang jadi mudah tersinggung jika diprotes rakyatnya dan tidak boleh lagi menerapkan pasal penghinaan terhadap presiden. Presiden boleh dihina ? Yes. Karena dia adalah Kepala Pelayan Masyarakat. Karena konsep Ketatanegaraan ini mengajarkan filosofi bahwa tugas pejabat Tata Negara adalah mengurus dan mengelola segala potensi dan kekayaan negara untuk kesejahteraan rakyat. Dengan demikian yang menjadi majikan adalah rakyat dan posisi presiden adalah Kepala Pelayan Masyarakat. Hinakah posisi ini ? Inilah posisi yang paling mulia dimuka bumi. Karena seorang Rasul Allah pernah bersabda : "Sesungguhnya sebaik-sebaik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi yang lainnya". Lantas kalau mulia kok boleh dihina ? Yang bisa menghinanya hanya rakyatnya sendiri sebagai majikan. Dan mungkinkah majikan yang baik akan menghina kepala pelayan yang sudah mengabdikan dirinya dengan baik ?

Kalau pengelola negara tidak boleh memerintah atau mengeluarkan perintah, lantas bagaimana dengan proses mengatur rakyat. Kan rakyat Indonesia susah diatur. Diperintah aja masih susah diatur apalagi tanpa perintah. Benarkah masyarakat kita sulit diatur ? Kalau memang sulit , kenapa Belanda begitu kerasan sampai ratusan tahun menjajah kita ? Kenapa Jepang juga senang disini. Bahkan sampai membentuk PETA dan BPUPKI. Problem rakyat kita bukan karena mereka susah diatur , tetapi lebih karena tidak ada yang mengatur. Yang menjadi pemimpin lebih sibuk memerintah dari pada mengatur. Lebih ingin menjadi Raja dari pada menjadi presiden. Lebih menjadi Pangreh Praja dari pada Pamong Praja. Lebih ingin dihormati dari pada menghormati. Inilah problem kepemimpinan di negeri ini yang mendorong budaya ndoroisme terus bercokol. Rekayasa pembentukan image yang menjurus pada kultus individu telah membuat bangsa ini kekeringan calon-calon pemimpin. Pola kepemimpinan seperti ini yang akhirnya mendorong para pemimpin untuk mengambil keputusan hanya yang akan menguntungkan dirinya atau dapat meningkatkan image. Sesungguhnya bukan rakyat yang sulit diatur, tetapi karena negara belum mengaturnya dengan baik. Jika Republik ini diatur dan ditata dengan benar , pasti keadaan yang dicapai akan jauh lebih baik. Buatlah program yang baik dan rapi untuk negara , alokasikan fungsi-fungsi yang ada bagi mereka yang berkompeten dan memiliki kapabilitas. Jangan gunakan fungsi tersebut hanya untuk mengakomodasi partai politik. Tegakkan hukum dengan sistem hukum yang baik. Jika semua fungsi-fungsi kenegaraan dapat berjalan sesuai sistem maka siapapun yang menjadi presiden tidak masalah karena sistem bernegara sudah tertata.

Itu semua adalah teorinya. Prakteknya ? tidak semudah yang diinginkan dan diucapkan. Untuk merubah konsep budaya bernegara tersebut membutuhkan tekad yang kuat dan keikhlasan yang tinggi. Resistensi pasti ada karena yang dirubah adalah paradigma. Itu sebabnya penerapan budaya bernegara ini harus diawali oleh sang presiden itu sendiri. Mampukah sang presiden menyingkirkan segala ego pribadinya saat memimpin negara ini. Sadarkah dia bahwa menjadi presiden disebuah negara yang berbentuk Republik tidak bisa menjadi penguasa sebagaimana laiknya seorang raja. Melihat pertarungan pada Pilpres yang baru lalu, dimana masing-masing Capres bertarung habis dengan menggelontorkan dana yang tidak sedikit saya khawatir bahwa motif untuk menjadi presiden adalah untuk berkuasa dan bukan untuk mengabdi. Jika motif ini terus dilestarikan maka akan sulit merubah paradigma ini. Itu sebabnya kemauan untuk merubah budaya bernegara ini kuncinya ada pada sang presiden itu sendiri. Saya sendiri hanya bisa berharap , entah kapan akan terwujud.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puasa Untuk Menjadi Pribadi Yang Bertakwa (Kajian 6)

PANCASILA - Dasar & Falsafah Negara

AL FATIHAH