PANCASILA - Ke Tuhanan Yang Maha Esa

KE TUHANAN YANG MAHA ESA. Ini adalah sila pertama dari Pancasila yang harus pertama kali diamalkan dalam hidup bernegara. Kita semua sudah sepakat bahwa kemerdekaan bangsa ini diperoleh berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Esa. Oleh sebab itu founding father kita menetapkan Ke Tuhanan Yang Maha Esa adalah syarat utama yang harus diamalkan terlebih dahulu. Konsekuensi dari kesepakatan sikap ini
adalah bagi mereka yang tidak ber Tuhan tidak ada tempat sebagai warga negara Indonesia. Boleh mereka tinggal disini tetapi sebagai warga negara asing. Negara harus bersikap tegas akan hal ini karena ini adalah prinsip pertama yang harus dilaksanakan. Dalam melaksanakan prinsip pertama ini adalah logis jika negara mewajibkan kepada seluruh warga negaranya untuk menjalankan dan mentaati kaidah-kaidah agama yang dianutnya. Masing-masing agama wajib melaksanakan syariat agamanya masing-masing. Yang beragama Islam harus melaksanakan syariat Islam. Yang Nasrani menjalankan syariat Nasrani dan begitu juga yang Hindu dan Budha. Jangan sampai terjadi yang Islam menjalankan syariat Nasrani atau sebaliknya. Masing-masing umat beragama wajib saling menghormati , menolong dan menjaga umat beragama lainnya. Jika ada umat beragama mengganggu umat yang berbeda keyakinan agamanya maka negara harus bertindak tegas. Tidak boleh ada umat salah satu agama menghakimi umat beragama lain dengan menggunakan dalil agamanya. Didalam agama masing-masing umat telah memiliki kitab dan setiap permasalahan yang terjadi harus diselesaikan menurut kitabnya masing-masing. Saat ini masih sering terjadi polemik tentang posisi negara dalam memandang agama. Ada yang berpendapat negara ini harus menjadi negara agama dan karena agama terbesar pemeluknya adalah Islam , maka negara harus menjadi Negara Islam. Sementara pihak yang tidak setuju dengan posisi sebagai negara agama , memilih untuk memposisikan negara ini sebagai negara Sekuler. Sebagai seorang yang ingin menjadi Islam , saya tidak setuju jika negara diposisikan sebagai negara Islam. Kenapa ? karena penduduk di negeri ini sejak belum diproklamirkan sudah menganut beragam agama. Jadi sangat tidak adil jika setelah merdeka dan yang non muslimpun ikut berjuang meraih kemerdekaan , kemudian negara dijadikan negara Islam. Bagaimana penghargaan kita kepada yang berbeda agama ? Jadi sebaiknya kita hilangkan saja keinginan untuk membentuk Negara Islam karena itu sangat tidak logis dan tidak manusiawi. Sementara jika posisi negara ini dijadikan sebagai negara sekuler , maka bagaimana dengan tanggung jawab kita terhadap para founding father yang telah menetapkan Pancasila sebagai dasar negara ? Bukankah sila pertama jelas-jelas menyuratkan dan menyiratkan bahwa kehidupan beragama adalah syarat mutlak dalam bernegara. Dan ini tidak hanya dalam kewajiban negara memfasilitasi kehidupan beragama saja. Tetapi lebih dari itu segala keputusan strategis negara harus mengutamakan sila pertama ini sebagai pertimbangan utamanya. Negara ini memang tidak boleh menjadi negara agama tertentu , tetapi harus menjadi negara yang agamis. Yang meletakkan nilai-nilai agama (spiritual) sebagai nilai-nilai utama. Oleh sebab itu penghormatan terhadap nilai-nilai agama harus diprioritaskan. Jangan takut dengan pelaksanaan syariat agama sebagai dasar hukum. Karena jika seluruh warga negara melaksanakan syariat agamanya masing-masing dengan benar maka kehidupan bernegarapun secara otomatis akan menjadi jauh lebih baik. Bukankah segala nilai-nilai luhur kehidupan sumbernya adalah agama. Jika kita tetap ngotot dengan keinginan untuk membentuk negara sekuler maka konsekuensi logisnya kita harus mengganti sila pertama dari Pancasila. Dan saya sangat takut melakukan itu.

Dalam kaitan pelaksanaan sila pertama ini penyelenggara negara harus sungguh-sungguh berperan sebagai pengelola negara dan tidak melakukan intervensi apapun terhadap kehidupan beragama. Negara harus memposisikan agama sebagai sesuatu yang strategis dan menempatkannya dalam tataran nilai yang paling tinggi. Posisikan para ulama sebagai pemimpin umat dan jangan sekalipun dipolitisasi. Hormati para pemimpin agama sebagai pihak yang memiliki derajat lebih tinggi dari presiden dan karenanya tidak berusaha memanfaatkan mereka untuk melanggengkan kekuasaan. Kembalikan segala persoalan yang terkait agama kepada masing-masing pemimpinnya. Berikan kesempatan seluas-luasnya kepada mereka untuk memimpin dan membina umatnya sesuai perannya sebagai ulama. Jangan curigai mereka , dan jangan pula memanfaatkannya untuk kepentingan politik. Namun negara tetap harus bertanggung jawab dalam hal keamanan dan ketentraman kehidupan beragama. Jangan memberikan toleransi kepada pihak-pihak yang mengatas namakan agama melakukan kerusuhan apapun. Tidak ada yang berhak untuk mengambil langkah dan tindakan hukum apapun selain negara.

Penghormatan terhadap nilai-nilai agama harus diprioritaskan , termasuk tidak menggunakan simbol-simbol agama ataupun sarananya untuk kepentingan politik sekecil apapun. Jangan menyeret agama kedalam ranah politik karena nilai-nilai agama jauh berseberangan dengan nilai-nilai yang dianut dalam dunia politik. Kita semua paham bahwa dunia politik adalah dunia yang serba boleh. Tidak ada kamus haram dalam politik karena tujuan adalah hal utama yang harus diraih tidak peduli bagaimana caranya. Dan kita tidak bisa berdalih bahwa dengan membawa atribut agama ke ranah politik akan membersihkan dunia politik dari kekotoran. Hal ini sama artinya dengan memasukkan kain yang putih bersih kedalam parit dengan maksud untuk menjernihkan air parit. Yang terjadi adalah kain yang tadinya putih menjadi kotor dan paritnyapun tetap kotor. Yang benar adalah membawa moral agama dalam praktik berpolitik. Moral agama yang dibawa dalam berpolitik ini akan berfungsi menjadi filter sehingga parit politik tidak menjadi kotor-kotor amat dan syukur kalau bisa menjadi bersih. Dan membawa moral agama untuk berpolitik sangat berbeda dengan mempolitikkan agama. Dengan membawa moral agama kita tidak perlu menunjukkan jati diri kita bahwa kita seorang yang agamis dengan menonjolkan simbol-simbol agama , tetapi kita memberi warna kepada dunia politik dengan nilai-nilai agama. Dan bukankah amal ibadah yang disukai Allah adalah amal yang tersembunyi. Yaitu amal ibadah yang dilakukan dan diniatkan hanya karena Allah dan oleh karenanya hanya Allahlah yang tahu. Sementara menonjol-nonjolkan ibadah hanya akan menimbulkan riya dan membuat Allah tidak ridho. Jangan lagi ada doa-doa politik apalagi sampai harus membentuk majelis dzikir atau majelis apapun untuk kepentingan politis. Jangan nodai agama hanya untuk memenuhi ketamakan duniawi karena agama bukanlah ilmu dunia.

Implementasi sila pertama ini dalam kehidupan bernegara juga menuntut peran serta masyarakat dari masing-masing pemeluk agama. Kembalikan nilai-nilai moral agama sesuai dengan ajarannya. Jangan ada pembelokan atas nilai-nilai agama apalagi memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi. Sudah jamak kita lihat bahwa pengamalan agama dalam kehidupan masyarakat kita masih banyak yang diwarnai dengan motif-motif untuk mengejar kenikmatan dunia. Sudah saatnya kita untuk mengembalikan ajaran agama kembali kepada nilai-nilai luhurnya. Jangan kita terus larut dalam pemberian makna yang keliru terhadap ajaran agama. Karena hal ini akan berdampak pada merosotnya nilai-nilai dalam beragama dan pada akhirnya akan membuat agama dianggap hanya permainan belaka dan kemudian ditinggalkan. Apa yang telah terjadi pada kehidupan beragama didunia barat pada masa-masa lalu yang berakibat pada hilangnya nilai-nilai agama pada saat ini dapat kita jadikan sebagi contoh.

Kepada para ulama marilah kita berikan posisi yang sangat strategis dan bermartabat. Ulama adalah orang-orang yang mempunyai nilai-nilai utama dalam hidupnya oleh karenanya mereka memiliki martabat dan kedudukan yang mulia. Begitu tingginya kedudukan mereka ini dihadapan Allah , selayaknyalah mereka lebih dihormati dibanding presiden. Jangan ada lagi campur tangan pejabat dalam wilayah para ulama ini. Merekalah para pemimpin umat termasuk didalamnya para pejabat negara. Serahkan segala hal yang terkait dengan hukum agama kepada mereka dan negara harus bersikap patuh terhadap apa yang telah diputuskan oleh para ulama. Jika karena sesuatu hal negara perlu untuk berbicara atau bertemu dengan ulama , maka sebaiknya sang pejabat negara yang bertandang ke tempat para ulama , dan jangan sampai ulama yang mendatangi pejabat. Jangan seret mereka untuk berpolitik atau memberikan dukungan politik. Jangan ada lagi pejabat yang meminta restu ulama untuk mencalonkan dirinya. Karena dengan meminta restu sama artinya dengan menyeret sang ulama untuk berpihak. Sekali sang ulama terseret dalam arus politik maka selamanya tidak akan dapat berdiri tegak diatas semua umat. Padahal ulama adalah pemimpin umat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puasa Untuk Menjadi Pribadi Yang Bertakwa (Kajian 6)

JIHAD ( Kajian 8)

AL FATIHAH