BUDAYA HUKUM

Sore itu disaat saya terbangun dari tidur siang usai pulang sekolah diusia saya yang baru sekitar kelas 2 atau 3 SD di kota kelahiran saya Surabaya. Saya mendengar suara orang ramai bersorak sorai seperti lazimnya jika ada pertandingan bola voly. Spontan saya keluar dan mencari arah datangnya suara. Saya melihat banyak orang berkumpul dihalaman rumah tetangga tidak jauh dari rumah orang tua saya. Sayapun mendekat dan
ingin mengetahui apa yang menyebabkan orang ramai berkumpul. Karena semuanya orang dewasa maka sayapun tidak segera dapat melihat apa yang terjadi. Kemudian saya memanjat tembok rumah tetangga untuk dapat melihat lebih jelas. Ternyata ada seorang pria muda kurus yang dituduh maling sedang digebuki oleh beberapa pemuda tetangga.Pemuda tersebut sudah berteriak minta ampun dan berkata :" Sanes kulo (bukan saya)" tapi tetap saja digebuki ditengah sorak sorai penonton. Akhirnya seorang pemuda tetangga yang berpakaian karate dengan sabuk coklatnya mengambil ancang-ancang dan kemudian melancarkan tendangan sambil melompat persis mengenai kepala sang "maling". Pemuda malang itupun terjengkang dan jatuh tidak bangun lagi. Saya sempat melihat ada darah di kepalanya. Entah kenapa kejadian puluhan tahun yang lalu masih terekam dalam memori saya.

Tindak kekerasan apakah itu main hakim sendiri, Tawuran , Pembinaan senior atas yuniornya, masih kerap terjadi di masyarakat kita. Dalam melakukan tindak kekerasan bahkan saya menilai masyarakat kita sudah sampai dalam tingkat sadistis. Video rekaman yang menunjukkan aksi kekerasan di kalangan tentara sungguh sangat tidak layak. Bahkan pernah ada tayangan hasil rekaman tindak kekerasan yang dilakukan oleh murid-murid SD yang mengeroyok temannya sendiri. Bahkan dilingkungan tempat tinggal sayapun pernah seorang pria yang layak disebut kakek, sangat ringan melayangkan tinjunya terhadap orang yang dituduhnya maling. Potret diri ini harus kita akui sebagai sesuatu yang sangat memalukan dan harus segera dihilangkan. Kita tidak bisa membiarkan praktek main hakim sendiri oleh masyarakat apapun alasannya. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana terjadinya kerusuhan Mei 1998, kerusuhan Maluku dan Poso. Dan juga apa yang disebut dengan " G.30 S PKI". Sangat banyak peristiwa kekerasan berdarah yang sudah terjadi sepanjang sejarah bangsa ini merdeka. Potret buram ini tidak dapat kita pandang sebagai hal biasa dan kemudian dilupakan. Ingat peristiwa semacam ini sudah sering terjadi sejak awal kemerdekaan. Artinya sikap menyukai dan memilih kekerasan sebagai jalan keluar sudah menjadi perilaku atau budaya masyarakat kita. Apakah kita akan tetap memelihara ini sebagai budaya ? Akankah kita marah jika bangsa asing mengatakan kita biadab karena perilaku kita tersebut ? Jawaban keduanya tentu TIDAK. Kita tidak mau memelihara kekerasan karena itu adalah ciri bangsa yang belum beradab. Dan kita tentu juga tidak boleh marah karena memang itulah faktanya.

Langkah awal untuk merubah itu semua adalah, pengakuan dosa. Kita harus mengakui bahwa kita memang masih menggemari tindak kekerasan dan belum memiliki kesadaran hukum. Tidak perlu mencari sebab musababnya. Tidak usah menyalahkan hakim yang tidak bisa menegakkan hukum. Jangan menuduh pengacara dan jaksa mempermainkan hukum. Dan tidak perlu meminta pertanggung jawaban pemerintah karena tidak becus meningkatkan kesadaran hukum rakyatnya. Kita semua sebagai bangsa secara kolektif harus mengakui bersalah tanpa kecuali. Jangan ada yang merasa paling bersih dan paling taat hukum karenanya merasa diri paling beradab. Hentikan kebiasaan membuat statement munafik dengan mengatakan bahwa kita adalah bangsa yang berbudi luhur, berbudaya dan ramah. Kalau ramah terhadap bangsa asing memang iya. Berbudi luhur terhadap majikan atau bos atau pemilik modal memang iya. Berbudaya ? iya , tapi budaya kekerasan. Kita harus mau mengakui kekurangan ini sebagai kesalahan dan dosa yang harus diperbaiki dan dimintakan ampunan kepada Yang Maha Kuasa. Dan ampunan dosa tidak akan diberikan oleh sang Maha Pengampun jika kita tidak pernah mengakuinya sebagai dosa. Jadi logislah bagi kita bahwa budaya kekerasan ini harus diperbaiki atau diubah dengan cara mengakuinya sebagai dosa dan memohon ampunan Tuhan dengan sungguh-sungguh bertobat dan tidak akan mengulanginya lagi dan bahkan membencinya. Kalau perlu kita berteriak kepada seluruh bangsa didunia :" Yes, kami bangsa biadab dan kami akan merubahnya". Lebih baik kita jujur terhadap diri sendiri dan karenanya mau berubah daripada menjadi munafik namun tetap biadab. Inilah syarat utama jika kita ingin memperbaiki kesalahan kita dalam hidup berbangsa agar dapat meraih apa yang disebut Ridho Sang Pencipta.

Setelah secara sikap kita bersedia mengakuinya sebagai kesalahan, maka berikutnya adalah mengimplementasikan sikap tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Jangan lagi kita menjadi terlalu mudah mengabaikan hukum. Dalam berlalu lintas, tegakkan tertib hukum. Taati semua rambu karena peraturan itu dibuat untuk kenyamanan dan keselamatan kita. Dan peraturan dibuat bukan untuk dilanggar. Jangan ada lagi tindak main hakim sendiri, segemas apapun kita terhadap sang pencuri atau penjahat. Ingat menghakimi seseorang yang belum diputuskan bersalah adalah dosa dihadapan Allah. Dan bukankah Tuhan sudah memerintahkan kepada umat yang beriman kepadaNya untuk selalu bersabar dan mudah memaafkan. Dan kita semua tidak ingin disebut sebagai mahluk yang tidak beriman kepadaNya. Kecuali kalau anda atheis. Serahkan semua urusan hukum kepada pihak yang berwenang. Berikan kepercayaan kepada negara untuk mengurusnya. Sebab kalau kita tidak percaya , lantas siapa lagi. Senangkah kita terus menerus melihat keadaan negara yang carut marut. Kalau bukan kita yang meperbaikinya secara bersama-sama lantas siapa yang akan memperbaiki.

Kepada pengelola negara , tegakkanlah hukum dengan tegas kalau perlu Bengis. Hukum yang bengis sangat diperlukan ditengah situasi psikologi masyarakat yang masih menyenangi kekerasan. Karena kalau hukumnya lembek apalagi memegang falsafah kekeluargaan maka jangan harap hukum akan dihormati. Jangan takut kehilangan popularitas karena bersikap sangat tegas. Jangan ada lagi koruptor yang dihukum ecek-ecek hanya dalam hitungan bulan. Siapkan peti mati bagi mereka , dan jangan menunda waktu terlalu lama untuk mengeksekusinya. Para penjahat kakap apakah itu perampok , pembunuh, bandar dan pengedar narkoba jatuhi hukuman paling berat kalau perlu hukuman mati. Abaikan seruan negara asing yang minta dihapuskannya hukuman mati. Untuk masalah penegakan hukum kita tidak perlu nasehat mereka. Kita punya pilihan dan pertimbangan tersendiri untuk penerapan hukum di negara kita. Jangan mudah memberikan remisi , yang sekarang jadi arisan setiap tujuh belasan. Jangan takut penjara jadi penuh karena hukum ditegakkan. Perbaiki mental aparat penegak hukum mulai dari yang paling tinggi hingga pelaksana lapangan. Pecat dan seret ke pengadilan para aparat hukum yang terbukti menyelewengkan tanggung jawabnya apalagi melanggar hukum. Hakim, Jaksa, Pengacara, Polisi, Panitera, Petugas Lapas semua harus bersih dan bertanggung jawab. Jadikan penegakan hukum sebagai program utama negara dan karenanya anggaran untuk ini harus diperbesar.

Untuk para pengacara , ingatlah bahwa profesi anda tidak semata-mata hanya untuk menghasilkan materi yang berlimpah. Ingatlah akan hukum Tuhan yang pasti akan berlaku. Memang tidak salah jika anda berusaha mencari celah-celah hukum untuk memenangkan perkara yang anda advokasi hanya demi materi. Tetapi kebenaran ini hanya berlaku dari sudut pandang materi saja. Dari sisi moral ? Jangan manfaatkan kelemahan hukum di negeri ini hanya untuk kepentingan pribadi. Ingat baik-buruknya hukum di negeri ini juga akan dimintakan pertanggung jawabannya kelak di akherat. Saya hanya ingin mengingatkan bahwa sejatinya kita semua adalah makhluk akherat. Tidak ada diantara kita yang akan lolos dari pengadilan akherat. Saya tahu dan akui kehebatan anda dalam mempermainkan celah hukum , namun ingatlah moral karena dampak langkah hukum yang anda permainkan sangat besar dalam kehidupan berbangsa.

Kepada kaum berduit apakah anda pengusaha atau politisi atau kedua-duanya janganlah anda merasa menjadi sangat kuat dengan kekayaan yang anda miliki karenanya anda merasa mampu membeli hukum untuk kepentingan anda. Ingatlah jika moral bangsa ini terus menerus rusak , maka secara logika bangsa ini akan ambruk dan seiring dengan ambruknya bangsa maka andapun akan terseret ambruk. Jadi sesungguhnya tidak ada yang diuntungkan dengan situasi moral bangsa yang ambruk ini. Percayalah jika anda turut berperan dalam membangun moral bangsa maka anda akan menjadi pengusaha dan politisi yang lebih disegani tidak hanya didalam negeri tapi juga oleh bangsa-bangsa di dunia. Tetapi jika moral bangsa ini buruk di mata asing , maka itu berarti andapun buruk dimata mereka. Jadi untuk apa mempermainkan hukum yang memang masih banyak celahnya kalau tidak dapat mengharumkan nama anda. Bukankah lebih baik mendorongnya menjadi baik dan andapun makin disegani. Mari kita tiru para elite bangsa dan pengusaha sukses dari negara-negara yang lebih maju. Mereka sangat menghormati hukum dan harga dirinya. Sehingga merekapun tidak segan-segan untuk mengakhiri hidupnya jika tercemar dimata bangsanya. Saya tidak bermaksud untuk mengajak anda harakiri, tapi cukup meneladani sikap moralnya

Untuk para ahli hukum di negeri ini, apakah anda yang aktif di perguruan tinggi ataupun sebagai praktisi hukum dan terlebih yang menjadi wakil rakyat. Bekerja samalah anda semua bahu membahu tanpa membawa kepentingan apapun untuk mewujudkan kitab hukum pidana hasil kita sendiri. Perbaiki semua sisi kelemahan hukum di negeri ini. Dan jadilah pionir-pionir hukum yang dapat menghantarkan bangsa ini menjadi bangsa yang lebih bermartabat. Dipundak andalah bangsa ini berharap terjadinya perbaikan hukum. Yakinlah anda bahwa jika Hukum dan Pendidikan telah menjadi panglima dalam pembangunan bangsa maka bangsa inipun akan bangkit menjadi bangsa yang disegani. Dan nama andapun akan ikut harum dan akan dikenang sepanjang masa serta tercatat dalam tinta emas sejarah bangsa ini. Jika bukan anda para ahli hukum lantas kepada siapa perbaikan hukum akan kita sandarkan. Ataukah kita semua memang berharap negeri ini menjadi negara dengan hukum rimba terdahsyat dimuka bumi ?

Sudah saatnya kita bekerja keras memperbaiki pilar-pilar hukum yang sudah rontok disana-sini. Saat ini kita sudah bingung mana yang salah dan keliru. Dasar hukumnyakah (UU)? atau implementasinya ? Apakah U.U yang berlaku saat ini sudah cukup tegas untuk penegakan hukum ? jika jawabnya sudah tegas berarti kesalahan ada di implementasi. Kalau ini yang jadi masalah jalan keluarnya tidak terlalu sulit hanya memerlukan goodwill penyelenggara negara. Tapi jika masalahnya ada di UU dan kita tidak ingin memperbaikinya , betapa parahnya problem yang terjadi dan itu mencerminkan moral kita sebagai bangsa. Saya rasa kita tidak senang jika disebut sebagi bangsa yang tidak bermoral karena tidak memiliki budaya hukum yang tinggi. Namun kita juga tidak bisa marah karena itu adalah fakta. Langkah yang lebih bijak dan tepat adalah mari kita singsingkan lengan baju bekerja keras memperbaiki salah satu pilar kehidupan kita ini. Jangan mencari siapa yang salah dalam hal ini karena hal itu hanya membuang waktu percuma. Tidak ada waktu lagi untuk itu karena situasi dan kondisi kehidupan moral berbangsa sudah sangat mencemaskan. Jadi , tunggu apa lagi ? Ayo Tegakkan Hukum di Negara Ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puasa Untuk Menjadi Pribadi Yang Bertakwa (Kajian 6)

PANCASILA - Dasar & Falsafah Negara

AL FATIHAH