KKN - Salah atau Benar ?

Kamis , 28 Januari 2010. Hari belum jam 08 pagi ketika saya melihat tayangan televisi yang menampilkan diskusi singkat 100 hari SBY-Boediono. Seorang surveyor dari Lembaga Survey Indonesia menampilkan data turunnya popularitas SBY. Data tersebut memperlihatkan turunnya pamor SBY banyak terjadi pada sektor pemberantasan korupsi yang turun lebih dari 30 %. Ingat pemberantasan korupsi, ingatan saya terbawa ke masa 1998. Saat itu isu yang paling dominan untuk menurunkan Soeharto juga sama. Dan itupun juga terjadi hanya beberapa bulan setelah presiden dipilih kembali oleh MPR untuk masa 1997 - 2002. Saat itu mahasiswa mulai bergerak pada sekitar bulan Juli 1997 dan terus berkembang seiring dengan merebaknya krisis mata uang yang melanda Asia Tenggara. Akankah sejarah berulang ?


Saat itu ada istilah baru yang diusung oleh mahasiswa dan elemen masyarakat yaitu : KKN. Korupsi , Kolusi dan Nepotisme seakan menjadi jampi-jampi ampuh untuk menurunkan rezim Soeharto pada masa itu. Semua yang berbau Orde Baru dituduh hasil KKN. Dan sampai sekarang istilah KKN inipun masih sering dipakai walaupun sudah tidak seintens dulu. Saya sering merenung atas penggunaan istilah ini. Menurut saya kurang tepat jika kita memisahkan antara Kolusi, Nepotisme dengan Korupsi. Pemisahan kata ini dalam penggunaan istilah KKN mengandung makna bahwa kolusi dan nepotisme tidak termasuk korupsi. Sementara kalau kita kaji bahwa yang dimaksud dengan korupsi adalah segala bentuk penyalahgunaan wewenang yang dimiliki atas suatu jabatan atau kekuasaan. Dari makna ini maka wujud korupsi dapat berupa : manipulasi, penggelapan, markup, kolusi, Suap, nepotisme dan penggunaan fasilitas negara tidak untuk peruntukannya. Semua bentuk korupsi tersebut akan bermuara pada memperkaya diri sendiri atau kelompok. Jadi kalau ada pejabat menggunakan fasilitas jabatan melakukan kesepakatan tertentu dengan pihak lain untuk manfaat dirinya maka hal tersebut adalah korupsi karena merupakan perbuatan kolutif. Jika ada pejabat menerima sesuatu dari rekanan proyek yang dibiayai negara apakah itu sebelum atau setelah proyek berakhir adalah korupsi karena merupakan perbuatan suap. Kalau ada pejabat yang karena jabatannya yang "basah" tiba-tiba menerima kiriman dari orang yang tidak dikenal dan menerimanya dengan senang hati maka itu adalah korupsi karena menggunakan jabatan tidak untuk peruntukannya. Dan masih banyak lagi.

Mengingat begitu banyaknya wujud korupsi, maka akan sangat sulit untuk diberantas jika kriteria perbuatan korupsi adalah jika menimbulkan kerugian negara sebagaimana berlaku dalam hukum anti korupsi kita. Karena perihal menimbulkan kerugian negara ini adalah ruang yang lapang untuk perdebatan. Dan kesalahan memisahkan antara korupsi dengan nepotisme dan kolusi membuat pemberantasan korupsi hanya gencar di tataran wacana saja. Prakteknya , korupsi akan semakin merajalela karena wujudnya sangat banyak dan makin pintar. Itu sebabnya kenapa pejabat yang kolutif dan nepotis tidak terjerat korupsi karena untuk dituduh korupsi harus ada bukti menerima uang dan ada kerugian negara. Betapa rumitnya. Padahal jamak kita tahu bahwa inilah negeri dengan pegawai negeri paling kaya didunia. Polisi atau purnawirawannya yang paling kaya dan bisa jadi pengusaha juga hanya ada di negeri ini. Demikian juga dengan militernya. Banyak mantan jenderal yang jadi pengusaha. Sementara inilah negeri kaya minyak dan mineral yang paling miskin penduduknya. Aneh kan ?

Itu sebabnya saya tidak heran jika angka kepuasan rakyat atas pemberantasan korupsi oleh SBY menurun. Karena masyarakat melihat bahwa pemberantasan korupsi jalan ditempat. Tetapi dilain pihak pemerintah merasa sudah memberantas korupsi dan dimata mereka korupsi sudah berkurang. Berkurangnya korupsi dimata pemerintah ini bukan prakteknya berhenti tetapi caranya jadi lebih canggih. Pasal merugikan negara ini mereka jadikan tameng dan tindak korupsi dilakukan dengan cara lebih canggih yaitu lewat pintu nepotisme dan kolusi. Persis sama dengan yang dilakukan jaman rezim Soeharto dulu. Itu sebabnya korupsi yang dilakukan oleh Cendana tidak pernah bisa diusut. Dan itu sebabnya pemerintah sekarang juga ngotot telah memberantas korupsi walaupun kenyataannya koruptor di negeri ini makin kaya dan masih malang melintang. Salahkah pemerintah ?

Untuk pemberantasan korupsi di negeri ini , tidak bisa lain harus dilakukan terobosan politik dan hukum sekaligus. Secara politik dinyatakan bahwa segala bentuk penyalahgunaan wewenang adalah korupsi. Dan dari sisi hukum dilakukan penerapan azas pembuktian terbalik. Negara ini tidak pernah membuat neraca Laba-Rugi , lantas dalil apa yang bisa dipakai untuk membuktikan kerugian negara. Wong tidak pernah dibukukan.Dan tidak kalah pentingnya beri sangsi yang berat terhadap para koruptor kalau perlu hukuman mati. Jangan seperti sekarang yang hanya dalam hitungan jari.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puasa Untuk Menjadi Pribadi Yang Bertakwa (Kajian 6)

Apakah Itu Menyekutukan Tuhan (Kajian 3)

PANCASILA - Dasar & Falsafah Negara