Kerbau dan Unjuk Rasa

Dalam sesi pengarahan pada rapat Pokja di istana Cipanas yang baru lalu , presiden SBY menyinggung perihal perilaku para demonstran dalam berunjuk rasa. Dalam unjuk rasa tersebut salah satu kelompok demonstran membawa kerbau yang ditubuhnya diberi tulisan SiBuYa dan didekat pantatnya ditempel foto sang presiden. Sang presiden pun merasa tersinggung dan meminta Pokja yang berdiskusi membahas juga hal tersebut. Dari arahan tersebut tersirat bahwa sang presiden menghendaki diskusi pokja dapat menghasilkan satu rumusan tentang perilaku unjuk rasa dan jika perlu mungkin akan diterbitkan Keppres.


Berita tentang inipun merebak dimedia massa. Seperti biasa pro dan kontrapun bersahutan. SBY nampaknya sangat menikmati cara-cara penciptaan situasi yang berbasis pada management by conflict. Sudah beberapa kali ini , sang presiden ' curhat ' atas sesuatu yang tidak berkenan pada dirinya dengan harapan memperoleh simpati. Cara-cara seperti ini sebenarnya rawan menciptakan ketidak seimbangan di masyarakat. Dengan melempar suatu kasus tertentu ketengah masyarakat dan kemudian berharap keberpihakan terkait hal-hal yang sifatnya pribadi , bukanlah cara-cara seorang negarawan. Jika SBY memang merasa dirinya adalah seorang presiden maka kegundahannya ini seharusnya disampaikan langsung kepada pihak yang berunjuk rasa. Namun itulah yang terjadi , disaat ada unjuk rasa sang pejabat bersembunyi dan jika telah berlalu diapun mulai berceloteh. Nampaknya di negeri ini antara yang memimpin dan yang dipimpin tidak ada korelasinya.

Jika kita lihat argumentasi pihak yang tidak setuju dengan cara unjuk rasa para demonstran karena presiden adalah simbol negara dan karenanya tidak layak untuk dihina. Sedang pihak yang setuju melihatnya sebagai hal yang wajar sepanjang tidak mengganggu keamanan dan ketertiban. Kedua argumentasi ini menurut saya sama kuatnya dan karenanya jika dipertajam bukan tidak mungkin akan terjadi konflik horizontal.

Kita memang perlu mendifinisikan ulang pengertian simbol negara. Saya berpendapat bahwa simbol negara adalah sesuatu yang menjadi ciri/simbol universal suatu negara, yang dikenali dan diakui oleh negara-negara lain dan dipertahankan sebagai perwujudan kedaulatan. Dalam hal ini yang sudah disepakati oleh seluruh dunia yang namanya simbol negara adalah : Bendera. Setiap negara memiliki bendera sebagai identitas dan sekaligus kehormatan bagi negara tersebut. Setiap negara yang merdeka dan diakui oleh negara lain , maka benderanya dapat dikibarkan bahkan sampai ke negara lain yang memiliki hubungan kerja sama. Dan benderalah yang dipasang sebagai identitas untuk mengenali sesuatu bangsa. Murid-murid sekolah di negeri ini tidak pernah diajar untuk menghafal nama-nama presiden negara lain. Tetapi mereka diperkenalkan kepada ciri-ciri atau simbol negara tersebut yaitu : Bendera. Dan jika ada upacara penghormatan kepada suatu negara maka yang dikibarkan adalah bendera dengan iringan lagu kebangsaan. Kita tidak pernah melihat ada upacara penghormatan terhadap suatu negara dengan memasang atau menaikkan foto presiden negara tersebut. Jadi jelas disini bahwa foto presiden bukanlah simbol negara. Dan saya tidak bisa menerima jika presiden atau fotonya dijadikan sebagai simbol negara. Mengapa ? karena presiden adalah manusia biasa yang bukan tidak mungkin akan melakukan kesalahan. Jika sang presiden melakukan suatu tindakan yang tidak baik atau hina apakah itu bisa berarti bahwa bangsa tersebut adalah bangsa yang hina ?. Kita harus ingat bahwa simbol negara mencerminkan sepenuhnya negara yang bersangkutan. Itu sebabnya jika ada suatu bangsa yang menghina atau merendahkan bendera bangsa lainnya maka perangpun akan dikobarkan. Simbol negara adalah harga diri suatu bangsa. Apakah kita mau harga diri kita sebagai bangsa dilekatkan pada diri seorang presiden. Bagaimana kalau presidennya korup ? Bagaimana kalau presidennya -maaf- terlibat skandal sex ? .

Kita pernah membaca berita bahwa ada seorang presiden sebuah negara besar terlibat skandal sex. Bahkan ada mantan wakil perdana menteri negara tetangga yang saat ini masih menghadapi masalah hukum juga terkait sex. Apakah kedua kasus ini dapat merepresentasikan bangsa tersebut. Saya yakin kitapun jika satu saat ada presiden kita yang kesandung kasus yang sama pasti kita akan menolak disebut sebagai bangsa pezinah.

Oleh sebab itu hendaknya kita kembalikan arti simbol negara kemakna yang sesungguhnya. Jangan karena keinginan untuk menghormati secara berlebihan membuat kita salah dalam bersikap. Presiden memang harus dihormati. Tetapi jika ada warga negara yang marah kemudian mengumpat sang presiden , maka sang presiden harus sadar bahwa ada rakyatnya yang merasa kesal. Sebagai pemimpin yang baik dia harus menemukan apa sebab kekesalan warganya. Karena presiden sudah bersumpah akan mengurus negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sudah jamak dibanyak negara maju rakyat mengumpat pemimpinnya. Jika sang pemimpin ingin rakyatnya bersikap santun maka sang presiden harus memulainya. Jika sang presiden ingin rakyatnya berunjuk rasa dengan santun , maka presidenpun harus santun dalam mengurus negara. Sikap santun seorang presiden dapat ditunjukkan dengan menemui pihak pengunjuk rasa dan mengajaknya berdialog. Jangan membiarkan pengunjuk rasa berteriak-teriak dan presiden serta para pejabat menutup telinga serapat-rapatnya. Jangan salahkan para pengunjuk rasa jika menggunakan sound sistem besar karena dengan mulut tidak pernah didengarkan. Jika presiden selalu menghindar saat ingin ditemui rakyatnya apakah hal tersebut masuk kategori santun ?. Bukankah unjuk rasa adalah cara yang digunakan rakyat jika semua saluran sudah tertutup.

Presiden kita saat ini adalah ketua dewan pembina sebuah partai yang bernama : Demokrat. Tapi entah kenapa dalam berdemokrasi kok menganut paham Ndoroisme. Seorang demokrat sejati tidak pernah takut berhadapan dengan rakyat yang dipimpinnya. Bahkan walaupun sang rakyat membawa bedil sekalipun , dia akan menemuinya dan mengajaknya berdialog. Apa sulitnya dialog ?.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puasa Untuk Menjadi Pribadi Yang Bertakwa (Kajian 6)

PANCASILA - Dasar & Falsafah Negara

AL FATIHAH