Mengentaskan Kemiskinan Atau Meningkatkan Kesejahteraan ?

Sejak masa pemerintahan era yang disebut orde baru kita diperkenalkan dengan program Pengentasan Kemiskinan. Program ini dimaksudkan untuk mengurangi angka kemiskinan sehingga diharapkan terjadi pertumbuhan kesejahteraan. Namun seiring berjalannya waktu hingga era yang disebut orde baru berakhir angka kemiskinan di negeri ini tidak kunjung berkurang bahkan terus bertambah.

Menurut data Badan Pusat Statistik persentase jumlah penduduk miskin pada tahun 1996 mencapai 17,5 % atau 34,5 juta orang. Dan pada tahun 2003 angka tersebut menjadi 17,4 % namun dengan jumlah yang membengkak menjadi 37,4 juta orang. Sementara data yang berbeda disampaikan oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional . Menurut BKKBN angka kemiskinan pada tahun 2001 mencapai 52,07 % yang terdiri dari keluarga pra sejahtera dan sejahtera 1. Saya tidak tahu persis apa kreiteria pra sejahtera dan sejahtera 1. Namun melihat angkanya yang mencapai lebih dari separo penduduk negeri dan melihat kondisi  sosial  secara kasat mata saya cenderung menggunakan data BKKBN ini sebagai profil. Dan standar kemiskinan absolut menurut Bank Dunia adalah mereka yang berpenghasilan dibawah 1 USD per hari.

Apapun angka standar kemiskinan yang dipakai menurut saya tidak perlu dipersoalkan. Disini saya justru ingin meninjaunya dari sisi filosofi. Sebagai bangsa yang hidup di negara dengan sumber daya yang sangat melimpah ini rasanya tidak elok jika kita mengukur keberhasilan dalam membangun negeri dengan naik turunnya angka kemiskinan. Kenapa ? Karena sesungguhnya negeri ini bukanlah negeri miskin. Secara potensial tidak ada satupun orang didunia ini yang menyangsikan potensi negeri kita sebagai negeri yang kaya raya. Oleh karenanya fokus pembangunan bangsa seharusnya tidak berputar pada angka-angka kemiskinan namun lebih memperioritaskan kesejahteraan. Dengan demikian maka program yang dicanangkan bukanlah Pengentasan kemiskinan tetapi Peningkatan kesejahteraan.

Ada dua alasan saya kenapa tidak setuju dengan penggunaan kata Pengentasan Kemiskinan. Pertama , kata pengentasan berasal dari bahasa Jawa yaitu mentas. Arti kata mentas adalah muncul ke permukaan dari kondisi terendam. Jadi kalau ada orang sedang berendam di air kemudian dia keluar dan naik ke darat disebut : mentas. Artinya dengan mentas itu dia mengangkat tubuhnya sehingga bagian tubuhnya yang tadinya tidak terlihat karena terendam menjadi terlihat seluruhnya. Nah jika kata mentas digunakan menjadi pengentasan kemiskinan bukankah ini dapat bermakna memperlihatkan kemiskinan yang tadinya tertutup menjadi terlihat seluruhnya. Namun saya yakin ini bukan menjadi sebab mengapa kemiskinan di negeri ini semakin marak. Alasan kedua , jika kita memakai kata pengentasan kemiskinan dengan maksud untuk mengurangi jumlah masyarakat miskin maka bukan tidak mungkin kita terjebak pada filosofi strategi yang keliru. Yang saya maksud disini adalah karena filosofinya mengurangi angka kemiskinan maka ada beberapa kemungkinan yang akan terjadi .

  • Terjadi manipulasi angka kemiskinan dengan memperkecil jumlah seharusnya dengan berbagai cara diantaranya dengan penetapan standar kemiskinan.
  • Terjadi pola jalan pintas yaitu dengan memilih program instan berupa santunan sosial dan sejenisnya ( JPS dan BLT ).
  • Sangat mungkin sasaran meningkatnya kesejahteraan masyarakat tidak tercapai karena program tidak ditujukan pada pemberdayaan masyarakat tetapi lebih pada memberi ikan yang berpeluang terjadi penyimpangan.
Lantas apa bedanya dengan penggunaan kata Program Peningkatan Kesejahteraan ? Dengan menggunakan kata Program Peningkatan Kesejahteraan maka filosofi yang diemban adalah berusaha memberdayakan masyarakat agar menjadi lebih mampu. Dengan filosofi ini maka yang dilakukan negara bukan lagi menyediakan dana untuk tunjangan sosial semata tetapi lebih pada pengadaan sarana dan subsidi kepada masyarakat. Dengan sarana yang mencukupi ditambah dengan subsidi dan insentif maka keberdayaan masyarakat akan meningkat. Yang termasuk dalam pengertian sarana disini meliputi peningkatan sumber daya manusianya.

Selanjutnya negara tidak lagi mematok standar angka kesejahteraan seperti yang berlaku saat ini. Hanya karena takut dinilai gagal maka negara menentukan standar yang tidak manusiawi. Ini tidak boleh dilakukan karena hanya akan menipu diri kita sendiri. Kita harus meniru bangsa Jepang yang selalu menetapkan standar tinggi dalam mematok standar kesejahteraan rakyatnya. Dalam kondisi krisis seperti saat ini , maka ukuran standar batas sejahtera menurut hemat saya adalah 200 USD per bulan. Setiap anggota keluarga yang memiliki penghasilan total dibawah angka tersebut dikategorikan tidak sejahtera. Dengan penentuan standar ini mungkin jumlah masyarakat belum sejahtera mencapai angka diatas 60 %. Besar kecilnya angka tersebut bukan hal penting. Yang harus diutamakan adalah angka tersebut adalah benar dan realistis. Dengan demikian negara dapat mengetahui secara persis seberapa besar problem yang dihadapi dan karenanya harus sungguh-sungguh bekerja keras.

Setelah angka pra sejahtera diyakini , selanjutnya yang dilakukan adalah pemetaan. Jika sudah dipetakan secara lengkap menyangkut potensi , peluang dan problemnya maka ini dijadikan sebagai dasar cetak biru Program Peningkatan Kesejahteraan Rakyat. Saya yakin dengan semangat filosofi meningkatkan kesejahteraan hasil yang dicapai akan jauh lebih baik dibanding semangat mengentaskan kemiskinan. Dengan pola mengentaskan kemiskinan yang sekarang dilakukan termasuk dengan BLT nya negara justru membuat kemiskinan menjadi semakin marak sekaligus menebar racun ketengah masyarakat. Untuk jangka panjang ini sangat berbahaya dan sama sekali tidak produktif.

Benar demikian ? Ayo kita buktikan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puasa Untuk Menjadi Pribadi Yang Bertakwa (Kajian 6)

AL FATIHAH

Apakah Itu Menyekutukan Tuhan (Kajian 3)