Menghitung Diri

Kehidupan yang kita jalani sering kali membawa kita pada ketidak tahuan  atas diri kita sendiri. Kita menganggap bahwa diri kita adalah ujud yang harus senantiasa dihargai. Oleh karenanya usaha untuk memperoleh penghargaan ini selalu diupayakan dan dicari. Bahkan kalau perlu dengan mengecilkan orang lain. Namun tahukah kita bahwa sesungguhnya Diri Kita tidak pernah berharap penghargaan dari orang lain ? Bahwa sesungguhnya Diri ini sangat berharap adanya penghargaan dari Pemiliknya ?

Betapa banyak diantara kita yang memandang bahwa penghargaan atas diri harus berupa pengakuan dari orang lain. Kita sangat senang jika ada orang yang memuji kita atau bahkan menyanjung. Bahkan untuk keperluan ini kita tidak segan-segan mengeluarkan biaya hanya untuk belajar bagaimana agar orang lain menghargai kita. Namun mengapa kesenangan akan hal ini meredup atau bahkan sirna dilain waktu ? Mengapa pujian dan penghargaan yang pernah kita dapatkan kemudian tiba-tiba hilang ?  Berapa banyak contoh kehidupan orang-orang yang pada awalnya tenar namun kemudian meredup seiring berjalannya waktu bahkan kemudian dilupakan. Tidak jarang pula yang diujung perjalanan hidupnya justru yang diperoleh adalah cacian dan hujatan. Ini semua adalah bukti bahwa tidak ada kesenangan dunia ini yang bersifat abadi . Lantas adakah kesenangan abadi ? Ada. Dan itulah kebahagiaan. Inilah yang selalu didambakan oleh Sang Diri. Dan ini hanya bisa diperoleh jika kita mampu menghargai jiwa kita.

Jiwa kita atau Diri ini memiliki fitrah suci. Oleh karenanya satu-satunya cara untuk membahagiakannya adalah membawanya kembali kepada fitrah. Karena yang diinginkannya adalah fitrah maka pembersihan diri dari waktu ke waktu adalah hal yang harus selalu diupayakan. Yang dimaksud dengan pembersihan diri adalah usaha kita untuk menjauhkan Sang Diri dari segala unsur-unsur materi yang merusak. Untuk itu kita harus selalu menghitung diri kita akan segala tindak tanduk dan perbuatan. Dalam tujuan kita untuk membersihkan Diri dan lebih mendekatkan diri kepada Sang Kebahagiaan , maka segala penyesalan dan rasa bersalah haruslah ditumbuhkan terlebih dahulu. Kita tidak akan pernah mampu menghitung diri kita jika dalam diri yang ada hanya perasaan benar atas segala perbuatan kita. Dan kemampuan memahami kesalahan inilah yang disebut mengenal diri. Jika kita telah mampu mengenali Diri kita , memahami keburukan diri , memahami kelemahan diri maka kitapun dapat memohonkan ampunan dari Sang Pemilik. Ini semua harus dilakukan untuk meraih ridho atau pengakuan dariNya. Hanya ridho dan pengakuanNya sajalah yang dapat membuat Diri ini bahagia.

Agar kita dapat lebih dalam lagi melakukan perhitungan diri , maka kita harus selalu waspada bahwa dalam diri kita terdapat satu kekuatan besar yang sangat buruk. Kekuatan ini mulai tumbuh dalam diri seseorang sejak masih diusia dini. Bahkan sejak kita masih kanak-kanak. Dia bernama : Nafsu Amarah. Ini adalah nafsu yang tidak diridoi yang Allah sebut syetan . Ciri dari nafsu ini adalah dorongan yang selalu mengajak pada kesenangan duniawi. Bentuk kesenangan duniawi disamping kebendaan adalah kesombongan dan harga diri. Dan inilah sifat yang telah menggelincirkan iblis. Senang melecehkan orang lain, mudah tersinggung , rakus , ingin selalu dihargai adalah perwujudan dari sifat sombong. Sementara harga diri menunjukkan wujudnya berupa sirik , dengki , dan dendam. Ini semua adalah nafsu syetan dan karenanya harus selalu diwaspadai. Kita harus selalu menghitung setiap langkah kita agar tidak  dinodai oleh nafsu ini. Memang kita tidak akan bisa begitu saja menghilangkan nafsu. Oleh sebab itu diperlukan niat yang sungguh dan usaha terus menerus.

Syetan tidak pernah berhenti untuk menggoda manusia. Oleh karena itu kita harus selalu melawannya. Satu-satunya cara paling effektif adalah dengan tidak pernah berpuas diri. Karena kondisi berpuas diri akan membuat kita lengah. Dan kelengahan ini akan dimanfaatkan syetan untuk merebut kembali hati sebagai area pertempuran. Karena begitu gencarnya serbuan syetan ini maka kewaspadaan atas segala ujud nafsu amarah harus kita jaga sepanjang waktu. Kita harus waspada saat diri ini merasa puas , senang karena ada yang memuji atau dikala hati ini dilanda amarah. Apakah itu karena keberhasilan orang lain , perilaku orang lain atau karena situasi. Pendek kata segala yang bersifat nafsu yang muncul dihati harus dibaca sebagai warning kehadiran syetan.

Kemudian bentengi diri ini dengan sebanyak mungkin  melakukan ritual-ritual ibadah. Shalat, dzikir , puasa dan zakat adalah bentuk-bentuk ibadah yang dapat mendorong kita untuk senantiasa menghitung diri. Shalat dan dzikir sejatinya adalah meditasi. Jika ini dijalani dengan menghadirkan Sang Jiwa maka lantunan kalimat-kalimat doa dan dzikir akan memperkuat Jiwa untuk senantiasa waspada. Saya tidak meyakini bahwa  shalat  akan menghapuskan dosa-dosa kita. Tetapi itu dapat menjaga kita dari perbuatan dosa. Dosa hanya dapat terampunkan melalui taubat. Dan taubat adalah rasa sesal yang sangat dalam atas Diri ini dan karenanya bertekad untuk tidak mengulanginya. Untuk ini hanya Allah lah yang mengetahui kesungguhan taubat kita. Puasa adalah penjagaan diri yang paling ketat. Karena dengan berpuasa kita senantiasa mengendalikan hawa nafsu dan juga terus menghitung diri. Dan zakat adalah proses pembersihan diri dari segala sifat tamak , rakus , sirik dan dengki. Zakat hakekatnya adalah pengorbanan. Perintah berzakat adalah ajaran Allah kepada hamba NYA agar dia mampu menjadi pribadi yang mau berkorban. Karena hanya dengan pengorbanan maka seorang hamba Allah akan sampai pada kebenaran yang sesungguhnya. " Sekali-kali engkau tidak akan sampai pada kebenaran yang sesungguhnya sebelum engkau korbankan apa-apa yang engkau cintai ".

Karena begitu pentingnya menghitung diri , dan inilah yang dapat menyelamatkan kita dari hawa nafsu yang sangat merusak , maka sebaiknya kita  segera menghentikan kebiasaan menghitung orang lain. Untuk apa kita menghitung orang lain toh tidak ada manfaatnya sama sekali untuk Diri ini. Dan justru dengan sering menghitung orang lain membuat kita lupa menghitung diri sendiri. Ini akan membuat kita lengah dan memberi kesempatan syetan untuk menguasai hati kita. Alangkah ruginya. Oleh sebab itu dari pada kita memaki dan menampar orang lain lebih baik kita memaki dan menampar diri sendiri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puasa Untuk Menjadi Pribadi Yang Bertakwa (Kajian 6)

AL FATIHAH

Apakah Itu Menyekutukan Tuhan (Kajian 3)